Photo by Zalfa Imani on Unsplash

INTEGRASI NASIONAL SEBAGAI BAGIAN DARI PROSES TRANSFORMASI IDENTITAS DAN BUDAYA ORANG CINA DI INDONESIA PADA ERA ORDE LAMA DAN ORDE BARU

Agung Fajarudin

--

Sebelum kemerdekaan, fokus utama dari bangsa Indonesia adalah merebut kemerdekaan dari bangsa penjajah. Setelah kemerdekaan terjadi perubahan fokus dari pemerintah yang baru saja terbentuk saat itu. Fokus setelah kemerdekaan adalah untuk membentuk rasa nasionalisme Indonesia atau disebut ‘nation building’ dengan membangun Indonesia sebagai sebuah bangsa. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan integrasi nasional, di mana setiap etnis di Indonesia mampu meleburkan dan membentuk kebudayaan nasional yang dipakai di seluruh wilayah Indonesia. Integrasi nasional juga dimaksudkan tidak terkecuali kepada etnis Cina (Suryadinata, 1988, hal. 120).

Dengan fokus pada proses transformasi identitas dan budaya orang cina di Indonesia melalui agensi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada era orde lama dan orde baru dengan tujuan untuk menciptakan suatu budaya baru (invensi tradisi (Ranger, 2000)) dengan harapan dapat mewakili seluruh bangsa Indonesia. Invensi tradisi dilakukan dengan asimilasi budaya (peleburan budaya) dengan cara menghilangkan ciri-ciri dari budaya asal dan menciptakan budaya baru (Kottak, 2012). Fokus subjek yaitu pada orang Cina di Indonesia yang dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu Cina Totok yang berarti orang yang lahir di luar Indonesia dan orang yang berbahasa Cina, dan Cina Peranakan yang berarti merupakan orang yang lahir di Indonesia dan berbahasa Indonesia (Suryadinata, 1988, hal. 119). Identitas yang akan dijelaskan adalah mengenai ciri yang ada dalam orang Cina di Indonesia berupa perubahan nama dan status kewarganegaraan. Perubahan budaya yang akan dijelaskan adalah mengenai bahasa, pendidikan, tradisi, ekonomi, dan religi. Komparasi dilakukan dengan membandingkan fenomena ini dengan invensi tradisi yang terjadi di Afrika Selatan.

Menurut KROEF (1953, hal. 446) dengan merdekanya Indonesia dari tangan kolonial membuat posisi orang Cina di Indonesia menjadi tertekan, adanya perubahan status dari orang Cina yang asalnya kuat (mayoritas) secara politik karena berada di kelas Timur Asing, pada saat setelah kemerdekaan, status tersebut telah hilang dan berdampak pada status orang Cina di Indonesia yang menjadi minoritas. Perubahan status ini dikarenakan oleh perubahan struktur yang ada dari kekuasaan kolonial telah ditumbangkan oleh bangsa Indonesia hingga mencapai kemerdekaan. Dinamika yang terjadi, mengakibatkan pelemahan pada status dan peran dari orang Cina di Indonesia yang merupakan pendatang dan awalnya mempunyai keuntungan dari kolonial. Tekanan yang didapatkan oleh orang Cina melalui kebijakan-kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah sebagai agensi juga pada stigma yang buruk dari masyarakat Indonesia.

Status dan peran dari orang Cina juga semakin tertekan ketika kudeta yang terjadi pada akhir dari orde lama pada tahun 1965. Kudeta yang terjadi dengan peristiwa pembunuhan ke-7 jendral dianggap didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diafiliasikan dengan negara Cina. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, mengakibatkan orang Cina mendapatkan stigma yang buruk dan perlakuan yang diskriminatif. (Suryadinata, 1976, hal. 771). Transformasi kekuasaan dari diturunkannya Presiden Soekarno karena sebuah peristiwa, mengakibatkan semakin mengarahkan pada diskriminasi orang Cina di Indonesia. Bentuk dari diskriminasi tersebut berupa kebijakan-kebijakan yang semakin diskriminatif dan memperkecil ruang gerak dari orang Cina di Indonesia pada era orde baru.

Pemerintah orde lama menurut Heidhues (2017, hal. 604) masih lemah, dilihat dari situasi dalam penanganan permasalahan minoritas yang dianggap kuat, dengan berfokus hanya pada penyelesaian masalah Cina. Pada orde lama berfokus pada peran dari orang Cina di ekonomi Indonesia, dengan merujuk pada kehadiran dari pribumi dalam sistemnya. Presiden Soekarno menginginkan ekonomi Indonesia lebih dikuasai oleh pribumi. Namun, pada konteksnya saat itu orang Cina lebih mendominasi elite ekonomi. Puncaknya adalah pada pelarangan terhadap orang Cina berdagang di desa kecil dilakukan secara represif, hal ini disebutkan oleh Heidhues (2017, hal.607) negara Cina bereaksi keras dengan mengirim kapal untuk menjemput orang cina dari Indonesia sebagai respons terhadap penganiayaan terhadap warga negaranya pada tahun 1959–61, ketika pemerintah Indonesia melarang perdagangan orang asing di kota-kota kecil dan desa-desa dan mengusir orang Cina asing dari daerah pedesaan di beberapa wilayah. Agensi dari pemerintah mempunyai pengaruh yang tinggi dalam transformasi keberadaan orang Cina di Indonesia. instansi pemerintah tidak hanya menjalankan praktiknya saja dalam struktur dalam membuat kebijakan, tetapi juga menunjukkan bagaimana pada praktiknya kekuasaan dari pemerintah menjalankan tujuan yang di awal sudah disebutkan untuk asimilasi kebudayaan. Tetapi fokus pemerintah hanya pada pribumi yang mulai tersudut dalam ruang ekonomi oleh orang Cina sehingga perlu adanya suatu tindakan dalam pelanggengan kekuasaan agar pribumi sebagai tolok ukur asimilasi masih kontinu.

Tidak terlalu berbeda dengan orde lama, orde baru mempunyai kebijakan-kebijakan yang diskriminatif guna dalam tujuannya asimilasi kebudayaan. Orde baru menganggap bahwa asimilasi adalah sebuah jawaban untuk integrasi nasional. Menurut Heidhues (2017, hal. 605) menganggap pembauran sebagai kekuatan negara untuk mencapai tujuan yang diproyeksikan yaitu melalui penghapusan kekhasan minoritas. Namun pada praktiknya, demi kepentingan politik, pemerintah Indonesia melakukan beberapa konsesi kepada Cina sejak awal 1968 untuk mendapatkan dukungan mereka dalam menstabilkan situasi ekonomi dan politik Indonesia (Suryadinata, 1976, hal. 778). Melihat peran dari para elit Cina yang mempunyai relasi dengan pemegang kekuasaan (sistem Ali Baba).

Fokus dari pemerintah orde baru adalah pada pembangunan ekonomi. Lanjutan dari apa yang dikatakan oleh Suryadinata (1976, hal. 774) secara ekonomi pemerintah Soeharto mempunyai kiblat menuju pembangunan, dengan upayanya membuka peluang investor luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sedangkan Investor asing lebih suka bekerja sama dengan pengusaha Cina karena menurut mereka umumnya orang Cina lebih siap dalam hal pengalaman bisnis, modal, dan pengetahuan teknis. Berdasarkan hal tersebut ada beberapa konsesi yang dilakukan, seperti sistem 50 persen bagian dari perusahaan yang dipegang oleh orang Cina akan dibagikan kepada pribumi tidak jadi dilaksanakan demi kontinuitas pembangunan ekonomi. Dilihat dari sini, orang Cina masih mempunyai agensi yang besar dalam pengaruhnya di struktur ekonomi Indonesia. Agensi orang Cina terbangun dari kepandaian dalam berbisnis juga pada relasi kuasa dengan pemegang kekuasaan.

Dengan berbagai persoalan yang ada, presiden melalui Keputusan Presiden №15/1967 membentuk Staf Khusus Urusan Cina (SKUC), yang bertujuan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan untuk mengatasi permasalahan dan pengawasan terhadap orang Cina (Suryadinata, 1976, hal.777). Tidak seperti pada sektor ekonomi, asimilasi yang dilakukan pemerintah orde baru dilakukan pada sektor pendidikan. Transformasi terjadi dengan penutupan sekolah menengah Cina yang ditutup tidak lama setelah kudeta tahun 1965 (Suryadinata, 1976, hal, 776). Penutupan ini guna melanggengkan kekuasaan dari agensi pemerintahan yang pada awal peristiwa dari kudeta sudah mengekang ruang gerak atau peran dari orang Cina di Indonesia.

Sekolah Menengah Swasta Cina ada sekitar tahun 1900-an di Indonesia mulai berkembang, dikarenakan kelemahan bagi orang Cina dalam pendidikan pada masa kolonial dengan sulitnya kesempatan dari pemerintah kolonial dalam memberikan pendidikan bagi orang Cina di Indonesia, dengan kurikulum yang mengacu pada negara Cina dan pengaruh dari negara Cina yang masih sangat dominan dengan pembentukan rasa nasionalisme kepada negara Cina, sekolah-sekolah ini berada di bawah naungan organisasi sosial politik Cina di Indonesia yang bersifat nasionalistis dan tertutup (451)

Pada awal perkembangannya, sekolah Cina di Indonesia sangat dipengaruhi oleh negara cina dengan memakai kurikulumnya, juga penanaman nilai-nilai nasionalisme cina. Sebagian besar dari sekolah-sekolah ini berada di bawah naungan organisasi sosial politik Cina di Indonesia yang bersifat nasionalistis dan tertutup. Namun, pada akhirnya pada tahun 1930 pemerintah kolonial membuka sekolah Belanda-Cina, karena pemerintah kolonial khawatir akan pertumbuhan pesat dari berkembangnya Cina di Indonesia (KROEF, 1953, hal. 453). Kontinuitas masih terjadi pada masa orde lama, yaitu pada tahun 1951 masih pada kondisi orang boleh bersekolah di mana saja dan kebebasan yang diberikan pemerintah orde lama untuk membuka sekolah swasta. Diskontinuitas baru terjadi pada orde baru, dengan invensi tradisi terlihat dari dibuatnya Sekolah Nasional Proyek Khusus (SNPC) dengan keistimewaan sekolah ini terletak pada dimasukkannya pengajaran bahasa Cina sebagai mata pelajaran untuk jumlah jam tertentu dalam seminggu (Suryadinata, 1976, hal. 777). SNPC ini merupakan bentukan dari SKUT dengan BKUT (Badan Kontak Urusan Cina). Dengan sekolah bentukan pemerintah merupakan upaya langsung sebagai agensi yang memiliki pengaruh dalam invensi tradisi untuk asimilasi bangsa Indonesia melalui sekolah dengan penanaman nilai-nilai nasional bangsa Indonesia. Hal ini juga merupakan bentuk dari instanisasi, secara cepat transformasi dilakukan dengan membuat struktur yang baru melalui pendidikan sehingga penanaman nilai-nilai kebangsaan dapat tersampaikan.

Pembatasan berekspresi sebagai bentuk dari asimilasi pada puncaknya terbit Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 mengenai Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Inpres tersebut merupakan wujud dari transformasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk dapat melakukan tujuannya yaitu asimilasi. Inpres yang berisi bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psychologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar (Suryadinata, 1976 hal. 780). Secara jelas menyebutkan tujuan dari Inpres tersebut adalah peleburan kebudayaan dengan cara pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai agensi. Peleburan kebudayaan dilakukan dengan hanya terfokus pada orang Cina, yang dibatasi dalam menunjukkan identitas, budaya, tradisi maupun religi yang dimiliki setiap individu.

Implikasi dari Inpres tersebut adalah dengan pergantian nama-nama Cina menjadi nama pribumi Pemerintah aktif mempromosikan perubahan nama dan peraturan itu dipublikasikan secara luas (Suryadinata, 1976 hal. 782). Hal ini merupakan instanisasi transformasi secara terstruktur pada orang Cina, dengan kata lain bahwa secara cepat asimilasi dilakukan melalui agensi yang terstruktur dengan melibatkan peran dari orang Cina sendiri sebagai pendatang dan peran dari pemerintah sendiri sebagai pemegang kekuasaan. Perubahan nama yang dipromosikan pemerintah menurut Suryadinata (1988, hal. 123) sering menjadi sebuah simbol bagi orang Cina akan “kesetiaan” nya pada Indonesia atau bagaimana dia inginkan menjadi warga asli negara Indonesia. Nama sebagai identitas dari orang Cina disimbolkan menjadi sebuah tolok ukur dari kesetiaan seseorang terhadap negaranya. Dalam konteksnya, nama menjadi sebuah indikator bagaimana seorang individu mempunyai peran dalam suatu struktur. Nama menjadi simbol bahwa seorang individu mempunyai peran sebagai seorang warga negara yang setia terhadap negaranya, caranya melalui instanisasi dengan Inpres dari agensi pemerintah.

Peleburan terjadi juga terhadap penggunaan bahasa Cina yang dilarang pada hampir semua aspek kehidupan. Pelarangan ini menimbulkan beberapa perubahan yang disebabkan oleh agen pemerintah dalam usahanya mengintegrasikan kebudayaan. Contohnya adalah pada olahraga Cina seperti Tai Chi dan Wai Tan Kung, pemerintah memutuskan untuk mengganti nama dari olahraga tersebut dengan bahasa Indonesia agar masih dapat diperbolehkan kontinu, juga bukan hanya pada namanya, transformasi terjadi pada unsur di dalamnya seperti musik pengiring yang diganti menjadi lebih Indonesia (Suryadinata, 1988, hal. 122).

Keagamaan juga menjadi salah satu yang bertransformasi, di mana sebelumnya pada masa orde lama, Konfusianisme masih diakui sebagai agama resmi di Indonesia, hingga pada 27 Januari 1979 kabinet menyatakan bahwa Konfusianisme bukan termasuk ke dalam agama (Suryadinata, 1988, hal. 125), yang pada akhirnya orang Cina telah menjadi penganut Buddha, semenjak Buddha lebih diakui sebagai suatu agama. Transformasi keyakinan ini juga merujuk pada bagaimana orang Cina harus bisa mempertahankan perannya sebagai warga negara, sehingga peran tersebut tetap kontinu.

Diskontinuitas terjadi pada perayaan tradisi Cina seperti perayaan Imlek dan juga perayaan hari besar lainnya yang biasanya dilakukan secara publik dan festive. Dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 yang membatasi perayaan ekspresi budaya tradisional di kuil dan rumah pribadi, juga menghilangkan prosesi dan perayaan publik yang biasa dilakukan pada tradisi Cina (Heidhues, 2017, hal. 612). Adanya pembatasan pada praktik dari tradisi budaya ini menyebabkan diskontinuitas dikarenakan agensi yang menunjukkan perannya dengan mengeluarkan Inpres tersebut.

Jika dibandingkan dengan Invensi tradisi yang terjadi di Afrika Selatan, terdapat beberapa persamaan yang bisa dianalisis. Invensi tradisi keduanya sama dalam upaya untuk asimilasi kebudayaan. Orang kulit putih di afrika selatan membentuk budaya yang baru bagi orang kulit hitam di Afrika, tetapi masih melanjutkan kebudayaan yang ada di Inggris. Sementara orang Cina mengasimilasikan dirinya untuk tujuan nation building yang sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Keduanya sama dalam pola asimilasi yaitu melalui agensi. orang Afrika mendapat agensi dari orang kulit putih yang membawa tradisi yang baru dan mempunyai pengaruh (kolonialisme) yang dibawa Eropa, sehingga proses dari asimilasi terjadi. Orang Cina dalam prosesnya agensi nya adalah pemerintah Indonesia yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan transformatif bagi orang Cina dalam kehidupannya di Indonesia.

Pada kesimpulannya, proses transformasi identitas dan budaya orang Cina di Indonesia dilakukan oleh agensi pemerintah yang mempunyai peran dalam pembangunan nation building dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang secara instan mengubah identitas dan budaya orang Cina. Proses dari transformasi ini bertujuan untuk asimilasi budaya yang dimiliki oleh orang Cina dengan meleburkannya dengan pribumi, proses asimilasi dilakukan secara struktur melalui peran pemerintah yang telah disebutkan sebagai agen yang memberi pengaruh pada praktik tradisi yang dilakukan oleh orang Cina di Indonesia. Upaya integrasi nasional yang dilakukan oleh pemerintah orde baru berhasil membuat orang Cina Totok menjadi Peranakan, orang Cina Peranakan menjadi lebih ter ‘Indonesia ‘ kan. Artinya bahwa Integrasi nasional yang dilakukan oleh Agen pemerintah melalui praktik kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk meleburkan berbagai etnis sehingga terbentuknya budaya nasional, upaya ini disebut Invensi tradisi yang dilakukan pemerintah Indonesia guna melanggengkan kekuasaan yang baru didapatkannya dari kolonial.

Referensi

Heidhues, M. S. (2017). Studying the Chinese in Indonesia: A Long Half-Century. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 32, №3, 601–633.

KROEF, J. M. (1953). CHINESE ASSIMILATION IN INDONESIA. Social Research, Vol. 20, №4, 445–472.

Suryadinata, L. (1976). Indonesian Policies toward the Chinese Minority under the New Order. Asian Survey, Vol. 16, №8, 770–787.

Suryadinata, L. (1988). Government Policy and National Integration in Indonesia. Southeast Asian Journal of Social Science, Vol. 16 №2, NATIONAL POLICY AND MINORITY CULTURES IN ASIA, 111–131.

Ranger, T. (2000). The Invention of Tradition in Colonial Africa. Dalam E. Hobsbawm, & T. Ranger, The Invention of Tradition (hal. 211–262). Cambridge: Cambridge University Press.

--

--

Agung Fajarudin
Agung Fajarudin

Written by Agung Fajarudin

People like to believe in fairy tale.

No responses yet