Kebangkitan Islam Kontemporer dalam Fenomena Poligami di Indonesia dan Malaysia (Kasus Yayasan Keluarga Samara Indonesia dan Ikhwan Polygamy Club)
Pembahasan mengenai berkembangnya liberalisme dan kapitalisme implikasinya terhadap bangkitnya kembali kejayaan agama di Asia Tenggara dijelaskan oleh Robert W. Hefner (2010) dalam Jurnal Kajian Asia yang berjudul Religious Resurgence in Contemporary Asia: Southeast Asian Perspectives on Capitalism, the State, and the New Piety. Berkembangnya liberalisme dan kapitalisme di Asia Tenggara disebutkan sebagai bagian dari pengaruh kolonialisme barat, sehingga ide-ide yang berkembang cenderung berkiblat pada ideologi barat. Berdasarkan apa yang dijelaskan bahwa bangkitnya kembali kejayaan agama dikemas dengan komersialisasi, yang berbentuk sebagai bagian dari pencapaian seorang individu dalam konteksnya keagamaan misalnya kesalehan. Dalam jurnalnya, Hefner menjelaskan secara spesifik mengenai gerakan Islam kontemporer di Indonesia, dengan memakai beberapa konsep dan pendekatan.
Hefner menjelaskan tentang Cargo-Cult Religiosity dengan menggambarkan adanya segmen pasar baru yang terbentuk mengenai fenomena kapitalisasi agama yaitu Islam de marché yang diterjemahkan sebagai pasar Islam, terbentuknya segmen pasar yang baru dengan merujuk pada keyakinan agama seseorang. Penulis mengutip penjelasan dari Haenni (2005. 10) Islam de marché merupakan indikasi bahwa para muslim telah melepaskan ide-ide kolektif yang dulunya menjadi concern sekarang lebih berfokus pada tujuan-tujuan pribadi, lebih tepatnya pada aktualisasi diri, realisasi diri dan pencapaian kesejahteraan individu. Kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya pergeseran pandangan muslim dengan pengaruh dari kapitalisme dan liberalisasi agama yang bertransformasi dari dulunya pada ide-ide kolektif menjadi kepuasan individu sehingga terciptanya segmen pasar yang baru yang disebut Islam de marché.
Selanjutnya, Hefner Menjelaskan mengenai peran dan hadirnya state dalam kebangkitan agama kontemporer yang ada di Asia Tenggara. Dia menjelaskan bahwa kebangkitan agama kontemporer ini cenderung menghindari grand theory dari state. Dari apa yang dipaparkan, saya menilai bahwa penulis ingin menyampaikan fenomena agama-agama kontemporer ini tidak lagi bergantung pada state untuk mendapatkan power, ataupun pada praktiknya state tidak hadir sebagai suatu entitas yang bisa berpengaruh pada fenomena kebangkitan ini. Tidak adanya peran state dapat dianalisis dengan melihat dari apa yang disampaikan oleh Hefner sendiri yaitu bahwa tanggung jawab Islam bukan sesuatu yang didelegasikan kepada suatu tokoh misalnya cendekiawan ataupun elite dari negara tetapi melihat pada akar dari dalam diri sendiri, keluarga dan hubungan sosial terdekat. Dari sini power dalam state menjadi sebuah hal yang tidak diperlukan dalam kebangkitan agama kontemporer ini, tetapi pengalaman individu, relasi sosial dan hubungan antar personal menjadi penting dalam proses ini. Hingga pada akhirnya, liberalisme dan kapitalisme yang menjadi pengaruh dalam proses kebangkitan ini dengan lebih menekankan pada kepuasan individu, relasi sosial dan aktualisasi diri sebagai wujudnya.
Pada contoh dari apa yang telah dipaparkan, saya mengambil fenomena Yayasan Keluarga Samara Indonesia yang pada konteksnya di Indonesia dan perbandingannya dengan fenomena Ikhwan Polygamy Club yang ada di Malaysia. Saya melihat fenomena ini merupakan contoh dari kebangkitan agama kontemporer yang ada di Asia Tenggara dan sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Hefner.
Tidak ada informasi yang jelas mengenai Yayasan Keluarga Samara Indonesia, yang ada hanya laman facebook yang aktif 14 Desember 2019. Tidak banyaknya informasi yang di dapat dari sumber elektronik, tidak adanya website pribadi atau lainnya, hanya beberapa artikel yang mengunggah agenda-agenda yayasan tersebut, juga beberapa blog yang saling kontradiktif dengan ada yang mendukung ada yang melawan. Suatu hal yang menjadi menarik adalah ketika salah satu artikel Vice oleh Wargadireja (2018) mengungkit mengenai salah satu agenda yang dijalankan oleh organisasi tersebut yaitu forum kumpul para penggiat poligami dengan inisiatornya adalah Riski, salah seorang yang paling berpengaruh dalam yayasan tersebut. Pada artikel tersebut dijelaskan mengenai agenda-agenda yang dilakukan di antaranya memperkenalkan aplikasi bertajuk maupoligami.com, yang pada basisnya merupakan aplikasi bagi orang-orang yang ingin berpoligami dan bertemu pada suatu laman. Selain itu, Riski juga melanjutkan penjelasan tentang keutamaan mengenai berpoligami dan bagaimana poligami dapat berdampak di kehidupan setelah mati. Agenda lainnya adalah antar anggota saling bertukar wawasan mengenai poligami, juga ajang cari jodoh bagi yang memang mencari.
Dengan segala penjelasannya tentang poligami, kemudian dengan mengemukakan rasionalisasi dan cara pandang mengenai poligami, saya lebih menekankan pada bagaimana Riski yang merupakan bagian penting dari Yayasan Keluarga Samara Indonesia membawa kesempatan ini dengan melihat segmen pasar yang baru yaitu muslim yang dianggap melaksanakan sunnah nabi dengan melakukan poligami, segmen pasar yang mengutamakan kehausan akan religiusitas. Yayasan Keluarga Samara Indonesia melihat ini sebagai sebuah market untuk bisa dijadikan sebagai sasaran produk komersial yang telah mereka buat. Ciri-ciri yang ditunjukkan pada market ini sesuai dengan apa yang dijabarkan oleh Hefner. Karakterisasi itu di antaranya bagaimana aktualisasi diri yang menjadi ciri utama bagi Islam kontemporer, kepuasan individu, bagaimana naiknya level keimanan seseorang setelah melaksanakan sunnah. Kemudian Yayasan Keluarga Samara Indonesia menjadi wujud dari kebangkitan Islam kontemporer dengan pengaruh dari liberalisme dan kapitalisme yang bangkitkan melalui sebuah yayasan juga dengan menjual aplikasi untuk dapat menarik market yang baru, aplikasi maupoligami.com pada akhirnya sebagai sebuah produk perwujudan kebangkitan Islam kontemporer di Indonesia.
Fenomena kedua adalah artikel yang dimuat di New York Times dalam artikel oleh Gooch (2010) mengenai Ikhwan Polygamy Club yang merupakan club di Malaysia dikelola oleh Global Ikhwan, perusahaan yang bergerak bisnis perdagangan seperti mie instan, obat-obatan, cafe, dan supermarket, dan diketuai oleh Ikram. Pada artikel ini memuat mengenai kritik yang terjadi pada Ikhwan Polygamy Club karena beberapa pertentangan yang datang, salah satunya adalah founder dari Global Ikhwan merupakan seorang penemu dari Al-Arqam salah satu ajaran yang menyimpang di Malaysia. beberapa kritikan juga berdatangan dari gerakan-gerakan perempuan yang menyebutkan bahwa poligami dapat menjadi pemicu dari kekerasan dalam rumah tangga yang banyak menimpa perempuan dan anak-anak. Tetapi club ini menjawab bahwa tujuannya dari klub ini adalah mempertemukan perempuan-perempuan yang sudah melewati masa nikah ingin mencari suami dan mempersiapkan perempuan yang siap untuk dinikahkan. klub ini mengklaim bahwa jumlah dari anggotanya adalah seribu orang yang tersebar dari berbagai Asia Tenggara mayoritas Islam dan juga negara Islam lainnya. Ikram sendiri yang mempunyai empat istri menjelaskan bagaimana keuntungan dari berpoligami, dan dampaknya bagi perempuan yang dipoligami. seperti mereka mempunyai saudara yang baru.
Selanjutnya apa yang disampaikan di Post Magazine dalam satu artikelnya oleh Kasztelan (2015) mengenai Ikhwan Polygamy Club adalah bagaimana klub tersebut menjadi sebuah institusi yang menawarkan pelayanan persiapan poligami. Beberapa pelayanan tersebut adalah sekolah yang di dalamnya terdapat pelajaran mengurus rumah tangga. Selain itu dalam artikel disebutkan bahwa klub ini merupakan sebuah gerakan, selanjutnya doktrin yang ditanamkan adalah bagaimana perempuan dengan secara sukarela menawarkan suaminya untuk dipoligami.
Dari sini saya menganalisis menurut apa yang dikatakan oleh Hefner mengenai Cargo-Cult Religiosity dalam konsep-konsepnya, Ikhwan Polygamy Club menjadi sebuah institusi dalam memperdagangkan produk-produknya yang berbasis agama. Pengelola dari Ikhwan Polygamy Club sendiri menyampaikan bahwa hal ini merupakan sebuah bisnis, dengan berorientasi pada market yang spesifik yaitu perempuan muslim, dengan metode penyebaran motivasi-motivasi keagamaan, seperti
“A good Muslim is not simply a person who stays in the mosque or is fasting. A good Muslim is the person who benefits other people,” Lokman explains. (Kasztelan, 2015)
dan selanjutnya berisi motivasi-motivasi untuk membantu muslim yang lain ke jalan yang benar, ada satu tingkatan yang dicapai yaitu bagaimana yang lain butuh dibantu dan lainnya membantu. Klub tersebut merasa seorang savior dari orang-orang di luar klubnya. Selanjutnya, pemimpin dari klub itu menyebutkan mengenai degradasi moral yang terjadi di antara anak-anak sekarang, dan perlu adanya penanganan khusus untuk perempuan muslim untuk dapat kembali ke jalan yang benar adalah menjadi istri yang baik dan siap dipoligami. dengan proses ini, klub mencoba membentuk pasar mereka dengan penyampaian posisi seseorang apakah seseorang dikategorikan muslim yang baik atau tidak, dengan mengikuti klubnya proses ini merupakan pembentukan Islam de marché.
Kedua contoh yang dipaparkan, menunjukkan proses bagaimana kebangkitan agama kontemporer di Asia Tenggara dengan dipengaruhi oleh liberalisme dan kapitalisme. keduanya menunjukkan bagaimana proses ini yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Hefner mengenai Cargo-Cult Religiosity dengan konsep Islam de marché. pada kedua kasus yang telah dipaparkan menunjukkan kebangkitan ini lebih berfokus pada pengalaman individu, kepuasan individu, pencapaian yang diraih dari pada berorientasi pada power di dalam state. Perbedaan yang dilihat dari kedua contoh kasus di atas adalah bagaimana model dari pelayanan yang ditawarkan berbeda. Yayasan Keluarga Samara Indonesia menawarkan model aplikasi dengan dapat lebih mudah menjangkau berbagai kalangan dan tidak membedakan segmentasi terlalu spesifik. Ikhwan Polygamy Club menawarkan model lebih kepada institusi pendidikan dengan penawaran pelayanan yang sesuai dengan syariat, dengan menspesifikan market kepada perempuan.
Referensi
Robert W. Hefner (2010). Religious Resurgence in Contemporary Asia: Southeast Asian Perspectives on Capitalism, the State, and the New Piety. The Journal of Asian Studies, 69, pp 1031–1047 doi:10.1017/S0021911810002901
Gooch, L. (2010, Januari 5). Malaysian Polygamy Club Draws Criticism. Diambil kembali dari New York Times: https://www.nytimes.com/2010/01/06/world/asia/06malaysia.html
Kasztelan, M. (2015, Juli 18). Polygamy Inc: how Global Ikhwan is becoming a lifestyle choice for many devout Muslims. Diambil kembali dari Post Magazine: https://www.scmp.com/magazines/post-magazine/article/1840091/polygamy-inc-how-global-ikhwan-becoming-lifestyle-choice
Wargadiredja, A. T. (2018, September 16). Indonesia Riot: Berikut Catatanku Setelah Ikut Kopdar Pegiat Poligami Garis Keras. Diambil kembali dari Vice: https://www.vice.com/id_id/article/yw4gyv/berikut-catatanku-setelah-ikut-kopdar-pegiat-poligami-garis-keras